Bukan Ponsel

Mentari pagi baru saja menyapa pucuk-pucuk pepohonan jati di desa Padalarang. Embun masih melekat erat di dedaunan, memantulkan cahaya keemasan yang hangat. Suara kokok ayam bersahut-sahutan, memecah kesunyian pagi yang damai. Di beranda sebuah rumah sederhana, seorang gadis muda bernama Laras duduk termenung. Matanya menerawang jauh, menatap hamparan sawah yang membentang hijau di hadapannya.

Di tangannya, sebuah benda pipih berlayar menyala-nyala. Bukan, itu bukan ponsel pintar yang biasa digenggam oleh gadis-gadis seusianya. Benda itu lebih tebal, dengan layar yang lebih kecil dan hanya menampilkan satu warna: hitam putih. Di bagian bawahnya, berjejer tombol-tombol numerik dan beberapa tombol khusus. Sebuah antena kecil mencuat dari sisi atasnya.

Laras sedang asyik bermain Snake Xenzia di Nokia 3310 miliknya. Ponsel legendaris itu adalah satu-satunya alat komunikasi yang dimilikinya. Bukan karena ia tak mampu membeli ponsel pintar terbaru. Hanya saja, Laras merasa lebih nyaman dengan Nokia lawasnya.

"Ras, sarapan dulu!" Panggil Bu Eni, ibunya, dari dalam rumah.

Laras menghela napas, lalu menekan tombol merah untuk mengakhiri permainan. Ia beranjak masuk ke dalam rumah, meninggalkan Nokia 3310 di atas meja beranda.


Pagi itu, Laras berpamitan untuk berangkat ke kota. Ia mendapat tawaran bekerja sebagai penulis lepas di sebuah perusahaan media online. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk mengembangkan bakat menulis yang dimilikinya.

"Hati-hati di jalan, Ras," pesan Bu Eni sambil membenarkan tas ransel Laras. "Jangan lupa kabari Ibu kalau sudah sampai."

Laras mengangguk patuh. "Iya, Bu. Doakan Laras sukses di kota ya."

"Pasti, Nak. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu."

Laras melangkah keluar dari rumah, menaiki angkutan umum yang akan membawanya ke stasiun kereta. Perjalanan menuju kota besar itu cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan. Sepanjang perjalanan, Laras disuguhi pemandangan pedesaan yang masih asri. Hamparan sawah, sungai-sungai kecil, dan rumah-rumah penduduk yang tertata rapi.

Sesampainya di stasiun, Laras bergegas membeli tiket kereta. Kereta yang ia tumpangi dipadati oleh penumpang. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja dan mahasiswa yang hendak berangkat ke kota. Laras mendapati dirinya terjebak di antara kerumunan orang. Desakan demi desakan membuatnya sedikit sesak.

"Sabar, Ras. Ini ujian pertamamu sebelum menggapai mimpi," gumamnya dalam hati.

Di dalam kereta yang penuh sesak itu, Laras memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Hampir semua penumpang asyik dengan dunia mereka sendiri. Sebagian besar sibuk dengan ponsel pintar di tangan mereka. Ada yang asyik bermain game, menonton video, atau berselancar di media sosial. Laras hanya bisa tersenyum tipis melihatnya.

Tiba-tiba, matanya menangkap sosok seorang kakek tua yang duduk di hadapannya. Kakek itu tampak kebingungan sambil memandangi sebuah ponsel pintar di tangannya. Laras memberanikan diri untuk bertanya.

"Permisi, Kek. Apakah Kakek butuh bantuan?"

Kakek itu mendongak, menatap Laras dengan tatapan penuh harap.

"Iya, Neng. Kakek sedang berusaha menghubungi cucu Kakek, tapi Kakek tidak tahu caranya."

Laras tersenyum ramah. Ia kemudian membantu Kakek itu untuk menghubungi cucunya. Ternyata, Kakek itu baru pertama kali menggunakan ponsel pintar. Cucunya yang membelikannya agar Kakek bisa menghubunginya dengan mudah.

"Terima kasih banyak ya, Neng. Neng baik sekali," ucap Kakek itu setelah berhasil berbicara dengan cucunya.

"Sama-sama, Kek. Senang bisa membantu."

Peristiwa kecil itu membuat hati Laras menghangat. Di tengah gempuran teknologi yang semakin canggih, masih ada orang-orang yang kesulitan beradaptasi. Laras merasa bersyukur karena ia masih bisa membantu mereka.


Tiga tahun berlalu sejak kepindahan Laras ke kota. Selama itu, ia telah berhasil membangun karirnya sebagai penulis. Tulisan-tulisannya banyak diminati pembaca dan ia pun telah menerbitkan beberapa buku. Kesuksesan yang diraihnya tak lantas membuatnya lupa diri. Ia tetaplah Laras yang sederhana, gadis desa yang mencintai ketenangan.

Di tengah hiruk-pikuk kota besar, Laras tetap setia dengan Nokia 3310 miliknya. Baginya, benda itu bukan sekadar alat komunikasi. Lebih dari itu, Nokia 3310 adalah pengingat akan jati dirinya. Pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki gadget tercanggih, melainkan tentang bagaimana kita menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal yang berarti.

Laras menyadari bahwa teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup manusia. Namun, ia juga percaya bahwa manusia tidak boleh terbelenggu oleh teknologi. Ia tidak ingin hidupnya hanya dihabiskan untuk menatap layar ponsel pintar dan terjebak dalam dunia maya yang semu.

"Ada kalanya kita perlu melepaskan diri dari hingar-bingar dunia digital. Menikmati momen-momen sederhana dalam hidup. Mendengarkan kicauan burung di pagi hari. Menikmati hangatnya sinar mentari. Berinteraksi langsung dengan orang-orang di sekitar kita. Hal-hal sederhana yang seringkali terlupakan di era modern ini," tulis Laras dalam salah satu tulisannya.

Tulisan Laras yang jujur dan apa adanya itu ternyata berhasil menyentuh hati banyak orang. Tak sedikit pembaca yang merasa resonansi dengan tulisannya. Mereka pun mulai merefleksikan diri, tentang bagaimana teknologi telah memengaruhi kehidupan mereka.


Suatu hari, Laras mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah seminar tentang literasi digital. Ia diminta untuk berbagi pengalaman dan pandangannya tentang penggunaan gadget di era digital. Laras menyambut baik undangan tersebut. Ia pun mempersiapkan materi presentasinya dengan penuh semangat.

Di hari seminar, Laras tampil percaya diri di hadapan ratusan peserta. Ia memulai presentasinya dengan sebuah pertanyaan.

"Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata ‘gadget’?"

Berbagai jawaban pun terlontar dari para peserta.

"Ponsel pintar."

"Laptop."

"Tablet."

"Internet."

"Media sosial."

Laras tersenyum tipis mendengar jawaban-jawaban tersebut. Ia kemudian melanjutkan presentasinya.

"Ya, benar sekali. Gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Gadget menawarkan berbagai kemudahan dan hiburan. Namun, di balik semua itu, kita perlu bijak dalam menggunakan gadget. Jangan sampai kita justru terjebak dalam kungkungan teknologi."

Laras kemudian menceritakan pengalaman pribadinya, tentang keputusannya untuk tetap setia dengan Nokia 3310. Ia juga menekankan bahwa memiliki gadget tercanggih bukanlah tolak ukur kebahagiaan.

"Kebahagiaan bukanlah tentang apa yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana kita mensyukuri dan menikmati apa yang telah kita miliki," ujarnya bijak.

Di akhir presentasinya, Laras menunjukkan Nokia 3310 miliknya kepada para peserta.

"Ini adalah gadget saya. Bukan ponsel pintar, tapi ia telah menemani saya selama bertahun-tahun. Ia mengajarkan saya tentang arti kesederhanaan, kesetiaan, dan arti kebahagiaan yang hakiki."

Ucapan Laras disambut tepuk tangan meriah dari para peserta.


Setelah seminar berakhir, banyak peserta yang menghampiri Laras. Mereka ingin berbincang lebih lanjut dengan Laras, ingin belajar darinya tentang bagaimana cara bijak dalam menggunakan gadget. Ada juga yang penasaran dengan Nokia 3310 miliknya.

Laras dengan senang hati meladeni pertanyaan dan berbagi pengalamannya kepada mereka. Ia berharap, apa yang disampaikannya dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi para peserta untuk lebih bijak dalam menggunakan gadget.

Di tengah kerumunan orang itu, Laras melihat sosok seorang gadis kecil yang menatapnya dengan tatapan kagum. Gadis kecil itu kemudian menghampiri Laras dan menunjukkan ponsel pintar miliknya.

"Kakak, bolehkah aku melihat ponsel Kakak?"

Laras tersenyum. Ia lalu menunjukkan Nokia 3310 miliknya. Gadis kecil itu tampak penasaran. Ia mengamati Nokia 3310 itu dengan seksama.

"Kenapa Kakak tidak menggunakan ponsel pintar sepertiku?" tanyanya polos.

Laras mengelus lembut kepala gadis kecil itu. "Karena Kakak lebih suka dengan ponsel ini. Ponsel ini mengajarkan Kakak tentang arti kesederhanaan dan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang tidak bisa Kakak dapatkan dari ponsel pintar."

Gadis kecil itu mengerutkan keningnya, tampak berpikir sejenak.

"Kebahagiaan sejati?" gumamnya pelan.

Laras tersenyum. Ia yakin, suatu saat nanti gadis kecil itu akan mengerti apa yang ia maksud.

Hari itu, Laras pulang dengan hati yang penuh syukur. Ia bersyukur karena bisa berbagi dan menginspirasi banyak orang. Ia berharap, semakin banyak orang yang menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki gadget tercanggih, melainkan tentang bagaimana kita mensyukuri dan menikmati apa yang telah kita miliki.

Di luar sana, gemerlap dunia dengan segala kecanggihan teknologinya terus melaju. Namun, Laras telah menemukan pijakannya. Sebuah pemahaman bahwa kebahagiaan hakiki tak selalu bergantung pada benda-benda canggih. Sebuah Nokia 3310 tua telah menjadi pengingat, sebuah simbol, bahwa kesederhanaan terkadang justru menuntunnya pada makna hidup yang lebih hakiki. Bukan ponsel yang ia genggam, melainkan rasa syukur dan kepedulian terhadap sesama yang akhirnya akan mewarnai perjalanan hidupnya.

Exit mobile version