Hujan deras mengguyur kota Jakarta seperti air mata yang tak kunjung henti. Gedung-gedung menjulang tinggi, biasanya berkilauan dengan gemerlap lampu, kini tampak buram dan suram tertimpa air. Di sebuah apartemen mewah, di lantai paling atas, seorang pria duduk di kursi roda, menatap kosong ke arah jendela. Di depannya, di atas meja kaca yang elegan, terbaring sebuah ponsel pintar dengan layar gelap gulita.
Pria itu bernama Baskara, seorang pengusaha muda sukses yang namanya pernah menghiasi sampul majalah bisnis ternama. Namun, semua kejayaan itu seolah lenyap dalam sekejap, bersamaan dengan matinya layar ponsel pintar di hadapannya. Layar mati itu bukan sekadar layar ponsel yang kehabisan daya, tetapi juga metafora dari kehidupan Baskara yang mendadak terhenti.
Hanya beberapa minggu yang lalu, Baskara adalah definisi dari kata “sukses”. Karirnya melesat bak roket, hartanya melimpah, dan ia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu memujanya. Hidupnya sempurna, setidaknya di mata dunia. Namun, di balik gemerlap dunia Baskara, tersimpan sebuah rahasia kelam, sebuah ketergantungan yang menjeratnya dalam kegelapan.
Baskara adalah seorang pecandu cryptocurrency.
Semua berawal dari rasa penasaran. Baskara, yang selalu tertarik dengan teknologi dan investasi, tergiur dengan cerita-cerita tentang orang-orang yang mendadak kaya raya berkat cryptocurrency. Ia mulai mempelajari Bitcoin, Ethereum, dan berbagai mata uang digital lainnya.
Awalnya, Baskara hanya iseng, menginvestasikan sedikit uang yang ia sisihkan. Namun, seperti perjudian, setiap kemenangan kecil memicu adrenalin dan keserakahan. Baskara terus menambah investasinya, terbuai oleh mimpi menjadi miliarder crypto berikutnya.
Ia menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar ponselnya, memantau grafik harga yang fluktuatif dengan detak jantung yang tak kalah cepat. Tidurnya berkurang, makannya tak teratur, dunianya hanya layar ponsel dan angka-angka yang terus berdansa di sana. Ia menarik diri dari teman-teman dan keluarganya, tenggelam dalam dunia maya yang penuh janji dan jebakan.
Ketergantungan Baskara semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan pekerjaannya, hubungannya dengan keluarga dan kekasihnya retak, dan kesehatannya memburuk. Kantong matanya menghitam, wajahnya pucat pasi, dan ia sering mengeluh sakit kepala. Namun, Baskara dibutakan oleh keserakahan dan mimpi-mimpi semu. Ia yakin bisa mengendalikan semuanya, yakin bahwa ia akan berhenti bermain setelah mendapatkan keuntungan besar.
Namun, seperti pepatah lama, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.” Keberuntungan Baskara tidak berlangsung selamanya. Pasar cryptocurrency yang fluktuatif dan tak terduga, akhirnya menunjukkan taringnya.
Pada suatu malam yang kelam, harga cryptocurrency yang selama ini menjadi tumpuan harapan Baskara anjlok drastis. Dalam hitungan jam, semua aset digitalnya menguap, lenyap tak berbekas seperti debu yang tertiup angin. Mimpi-mimpi Baskara tentang kekayaan dan kebebasan finansial hancur berantakan, menyisakan keputusasaan yang menyesakkan dada.
Baskara terguncang. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mencoba menghubungi teman-temannya yang juga bermain crypto, tetapi mereka semua bernasib sama. Kepanikan melanda Baskara. Ia telah mempertaruhkan segalanya – tabungannya, pinjaman dari bank, bahkan uang keluarganya – dan kini ia kehilangan segalanya.
Dalam keputusasaan, Baskara nekat. Ia mencoba bunuh diri dengan menenggak obat tidur dalam jumlah banyak. Beruntung, pembantunya yang curiga menemukan Baskara tak sadarkan diri di kamarnya dan segera melarikannya ke rumah sakit.
Baskara selamat, tetapi ia harus menanggung konsekuensi dari kecerobohannya. Kecelakaan itu membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah. Ia, yang dulunya energik dan penuh semangat, kini terkurung di kursi roda, hidup dengan rasa sakit dan penyesalan.
Dan di sinilah Baskara sekarang, menatap kosong ke arah layar ponsel yang mati, menjadi cerminan dari hidupnya yang seolah ikut padam. Hujan di luar masih deras, seakan ikut menangisi nasib tragis sang mantan raja crypto.
Namun, di tengah keputusasaannya, Baskara menyadari sesuatu. Layar ponsel yang mati itu, ternyata justru menjadi awal dari hidupnya yang baru. Kehilangan segalanya justru membuka matanya, membuatnya menyadari betapa berharganya hidup ini.
Baskara mulai menjalani terapi fisik dan mental. Ia belajar menerima kondisinya dan berdamai dengan masa lalu. Ia mulai membangun kembali hubungannya dengan keluarga dan teman-temannya, dan meminta maaf atas segala kesalahan yang telah ia perbuat.
Proses pemulihan itu tidaklah mudah. Rasa bersalah dan penyesalan masih sering menghantuinya. Namun, Baskara bertekad untuk menebus kesalahannya dan menjalani hidup dengan lebih bermakna.
Ia mulai aktif di yayasan sosial, berbagi kisah hidupnya untuk menyadarkan orang lain tentang bahaya kecanduan cryptocurrency. Ia juga mendirikan sebuah usaha kecil-kecilan, memanfaatkan keahliannya di bidang teknologi untuk membantu para penyandang disabilitas.
Layar ponsel yang dulu menjadi sumber kesenangan semu, kini ia ganti dengan layar komputer yang menjadi jendela untuk berbagi kebaikan dan menginspirasi banyak orang. Ia menemukan kebahagiaan dan kedamaian, bukan dari gemerlap dunia maya, tetapi dari ketulusan hati dan keinginan untuk berbuat baik.
Layar ponsel Baskara memang telah mati, tetapi hidupnya baru saja dimulai. Sebuah kehidupan yang lebih sederhana, lebih bermakna, dan jauh lebih berharga dari sekedar angka-angka di dunia maya. Sebuah kehidupan yang ia syukuri setiap harinya, seperti mentari yang kembali bersinar setelah badai reda.